1. TUJUAN
Mengoreksi objektivitas makalah; Menambah tsaqofah syabab.
2. DESKRIPSI
Makalah ini merupakan terjemahan tulisan Nawab Mohamed Mohamed Osman seorang kandidat PHD di Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Universitas Nasional Australia sekaligus peneliti yang bekerjasama dengan Program Islam Kontemporer di Sekolah Internasional S. Rajaratman, Universitas Teknologi Nanyang Singapura dengan elaborasi dari Pusjianstra TNI. Makalah ini berusaha menyajikan data empiris tentang Hizbut Tahrir(HT) khususnya Hizbut Tahrir Indonesia(HTI) dan dampak strategi perubahan HTI terhadap kebijakan pemerintah. Makalah ini juga memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengambil tindakan secepatnya kepada HTI dengan anggapan ancaman tidak langsung terhadap NKRI.
3. KOREKSI
1) Halaman 2 tentang tujuan HT : “…tujuan menghidupkan kembali kekhalifahan Islam.”(Accessed on the 8 th of May 2008. http://www.mykhilafah.com/hizbut_tahrir/index.htm). Padahal dalam situs resmi telah jelas tujuan HT “..untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.”(http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/). Jadi tujuan HT untuk mengembalikan kehidupan islam dan khilafah merupakan metode untuk mewujudkan tujuan tersebut.
2) Halaman 4 dituliskan “Karena percobaan kudeta oleh anggota HT di beberapa negara-negara Timur Tengah, anggota partai menjadi sasaran beberapa rezim Arab.”( Interview with Burhan Haniff, member of Hizb ut-Tahrir Britain, 18 June 2007,London). Perlu digarisbawahi bahwa dalam mencapai tujuan HT tidak pernah menggunakan kudeta tetapi melalui tahapan yang dicontohkan Rasulullah yaitu (1) Tahapan Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah At Tatsqif); (2) Tahapan Berinteraksi dengan Umat (Marhalah Tafa’ul Ma’a Al Ummah); (3) Tahapan Penerimaan Kekuasaan (Marhalah Istilaam Al Hukm). (http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/). Pada tahapan penerimaan kekuasaan dicapai melalui proses thalabun nushrah dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan bukan melaui kudeta. HT tidak pernah menggunakan kekuatan fisik untuk membela diri atau menentang para penguasa apalagi melakuakan kudeta.(Hizbut Tahrir, 2010:53-54)
3) Halaman 12 tentang struktur HT : “…fitur dasar organisasi HT adalah federasi struktur otoritasnya.” Sedangkan dalam sebuah federasi setiap negara bagian biasanya memiliki otonomi yang tinggi dan bisa mengatur pemerintahan dengan cukup bebas. Ini berbeda dengan sebuah negara kesatuan, di mana biasanya hanya ada provinsi saja.”( http://id.wikipedia.org/wiki/Federasi). Konsekuensi dari struktur federasi adalah otonomi yang luas bagi setiap pimpinan wilayah dalam mengatur wilayahnya baik dari segi aturan admistratif hingga kebijakan sehingga setiap wilayah memiliki aturan yang berbeda. Sedangkan HT terikat dengan aturan adminitrasi yang sama di setiap wilayah.
4) Halaman 12 dituliskan kalimat yang multitafsir dan subjektif “…mereka latihan keras untuk memperoleh kemerdekaan”. Seharusnya peneliti menambahkan penjelasan merdeka dari apa dan siapa serta metode meraihnya dari sumber resmi HT.
5) Halaman 14 dituliskan tentang GEMA Pembebasan: “…Gerakan Pembebasan Mahasiswa (Gerakan Emansipasi, GEMA) di 2001.”( Interview with Agung Wisnuwardana, 24 March 2008, Jakarta). Dalam situs resmi GP dituliskan “Gema Pembebasan resmi dibentuk pada tanggal 28 Februari 2004 bertempat di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia.(http://gemapembebasan.or.id/?pilih=hal&id=4).
6) Halaman 14 menyatakan bahwa ada proses indoktrinasi dalam pembinaan anggota HT. “Indoktrinasi adalah sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu. Praktik ini seringkali dibedakan dari pendidikan karena dalam tindakan ini, orang yang diindoktrinasi diharapkan untuk tidak mempertanyakan atau secara kritis menguji doktrin yang telah mereka pelajari.”( http://id.wikipedia.org/wiki/Indoktrinasi).
Padahal dalam pembinaan individu HT menyampaikan ide islam secara terang-terangan dengan argumentasi yang meyakinkan dan diberikan kesempatan kepada peserta pembinaan untuk memberikan respon baik berupa pertanyaan maupun pernyataan tentang ide tersebut sehingga terjadi peleburan ide islam yang diadopsi HT ke dalam individu dengan keyakinan penuh tanpa keraguan sedikitpun. Jadi tidak ada indoktrinasi dalam proses pembinaan tetapi yang terjadi justru pemahaman menyeluruh tentang ide yang dibawa HT melalui argumentasi dan proses pembuktian yang meyakinkan.
7) Halaman 14 tentang struktur keanggotaan HT tiga tingkat : “…Pada tingkat kedua adalah anggota yang telahmenunjukkan pengetahuan tentang partai melalui penelitian secara mendalam dari teks HT dan yang telah melakukan sumpah kesetiaan. Ini sumpah kesetiaan di sini adalah serupa dengan bai'ah diadopsi oleh banyak gerakan-gerakan Islam. Bai'ah merupakan komponen penting dari ideologi HTI itu.”
Dan pada halaman 15 dituliskan “Bai'ah adalah kontrak sosial antara pemimpin negara Islam dan orang-orang dimana pemimpin berjanji untuk mematuhi hukum Islam dan dituntut janji kesetiaan mereka. Praktek ini pada intinya memaksa anggota untuk memegang kesetiaan mereka kepada HT, jika mereka gagal maka mereka akan terlihat melanggar hukum Islam.”
Dan pada halaman 15 dituliskan “Bai'ah adalah kontrak sosial antara pemimpin negara Islam dan orang-orang dimana pemimpin berjanji untuk mematuhi hukum Islam dan dituntut janji kesetiaan mereka. Praktek ini pada intinya memaksa anggota untuk memegang kesetiaan mereka kepada HT, jika mereka gagal maka mereka akan terlihat melanggar hukum Islam.”
Sungguh pernyataan subjektif dan gegabah yang muncul dari ketidaktahuan atau salah paham peneliti atas HT khususnya tentang struktur keanggotaannya. Hal ini sangat berbeda dengan pemahaman dari pengalaman orang yang pernah mengkaji islam bersama HT. Secara faktual HT menggunakan struktur keanggotaan tiga tingkat yang meliputi pelajar umum, pelajar, dan anggota. Sumpah setia ditawarkan kepada pelajar (tingkat dua) setelah memenuhi persyaratan tertentu sebagai syarat menjadi anggota(tingka tiga). Jadi sumpah setia dilakukan pada tingkat tiga bukan tingkat dua seperti yang diungkapkan peneliti. Sumpah setia yang dimaksud sangat berbeda dengan Bai’ah. Ibnu khaldun dalam muqadimmah II/549 dalam Mahmud al khalidi(2002:25) menyatakan “bai’at adalah perjanjian antara umat dengan penguasa, yaitu agar penguasa menjalankan pemerintahan menurut ketentuan syara’, dan agar umat mentaati penguasa” Pemahaman ini sesuai dengan pemahaman yang diambil dari hadits Ubadah bin ash-shamit:
“Kami membai’at Rasulullah SAW agar kami mendengar dan mentaati (perintahnya), baik dalam hal yang kami senangi maupun yang kami benci…dan hendaklah kami tidak merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak. (as-Syaukani, Nailul Authar, VII/183 dalam Mahmud al khalidi(2002:26).
“Kami membai’at Rasulullah SAW agar kami mendengar dan mentaati (perintahnya), baik dalam hal yang kami senangi maupun yang kami benci…dan hendaklah kami tidak merebut urusan (kekuasaan) ini dari yang berhak. (as-Syaukani, Nailul Authar, VII/183 dalam Mahmud al khalidi(2002:26).
Istilah yang paling tepat dalam menjelaskan realitas Bai’at adalah perkataan”bai’at adalah hak umat dalam melaksanakan akad penyerahan kekhilafahan.” (Mahmud al khalidi,2002:26).
Penjelasan di atas menyatakan bahwa bai’ah harus dilakukan pada kholifah bukan pemimpin kelompok tertentu sedangkan sumpah setia yang dilakukan oleh anggota HT merupakan sumpah setia untuk terikat dengan hukum syara’, membela islam dan taat dengan amir HT. Bai’at dan sumpah setia dalam konteks di atas merupakan dua hal yang berbeda baik dari definisi maupun teknis jadi kesimpulan yang gegabah jika menganggapnya hal yang serupa.
Penjelasan di atas menyatakan bahwa bai’ah harus dilakukan pada kholifah bukan pemimpin kelompok tertentu sedangkan sumpah setia yang dilakukan oleh anggota HT merupakan sumpah setia untuk terikat dengan hukum syara’, membela islam dan taat dengan amir HT. Bai’at dan sumpah setia dalam konteks di atas merupakan dua hal yang berbeda baik dari definisi maupun teknis jadi kesimpulan yang gegabah jika menganggapnya hal yang serupa.
8) Halaman 17 dituliskan : “…dan kebutuhan untuk meghidupkan kembali Kekhalifahan Islam, HTI menggunakan berbagai metode.”( Personal Observation of author in several mosques in Jakarta and Bogor). Metode dakwah HT bersifat baku yaitu hukum-hukum syara’, yang diambil dari thariqah (metode) dakwah Rasulullah saw, sebab thariqah itu wajib diikuti( http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/). Jadi kesimpulan yang keliru menyatakan HT menggunakan berbagai metode.
9) Halaman 23 dituliskan : “Di antara figure masyarakat telah terlibat dengan HTI pada masa lalu, Abu Bakar Ba'asyir (pemimpin spiritual yang diduga mempunyai hubungan dengan jaringan teror Jemaah Islamiyah)”( Melawan: Saatnya Indonesia berubah!” at the YTKI Building, Jalan Gatot Pembicara, The speakers at the forum were Siti Fadilah Supari, Jose Rizal Jurnalis (Chairman of MER-C Indonesia) and Farid Wajdi(HTI). Sejauh mana keterlibatan Abu Bakar Ba'asyir dengan HT apakah sebagai pendukung atau pengkaji atau pengemban ide HT tidak dijabarkan pada makalah ini. Peneliti lebih cenderung pada dugaan yang belum dipastikan kebenarannya dalam mengaitkan Abu Bakar Ba'asyir dengan Jaringan Teror.
10) Halaman 26 dituliskan: “…demonstrasi publik digunakan sebagai platform oleh para pemimpin HTI untuk menciptakan aura kekuatan dan kekuasaan sekitar perkumpulan dan proyek kekuasaan mereka.” Perlu ditegaskan bahwa unjuk rasa merupakan salah satu uslub (cara) yang dilakukan dengan pertimbangan keefektivitasan dalam membangun opini di tengah masyarakat sehingga kesadaran umat secara umum tentang Islam tercapai. Unjuk rasa bukanlah hal yang prinsip atau platform HTI tetapi merupakan pilihan yag didasarkan pertimbangan efektivitas dengan tujuan membangun kesadaran umat secara umum tentang islam. Jadi kesimpulan yang subjektif dan tidak berdasarkan sumber resmi yang menyatakan bahwa unjuk rasa adalah platform HT.
11) Halaman 47 dituliskan : “…pemimpin HTI mengklaim bahwa anggotanya hari ini mendominasi posisi penting dalam militer dan birokrasi pemerintah di provinsi seperti Papua dan Aceh.” (Some former member of HTI in Aceh reported this). Secara faktual pernyataan ini memang klaim dari sumber yang masih awam terhadap HT dan diragukan berasal dari pemimpin HT seperti yang dikutip peneliti karena menurut aturan administrasi HT melarang anggotanya aktif dalam militer yang saat ini berfungsi menjaga sistem kufur.
12) Halaman 49 dituliskan : “Masalah Ahmadiyah membuat HTI dikenal oleh orang awam di Indonesia secara luas. Hal ini juga dengan memanipulasi tidak hanya pemerintah tetapi juga kelompok-kelompok Islam lain seperti MUI dan Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) untuk mendorong pelarangan Ahmadiyah.” Penggunaan kata memanipulasi yang cenderung bernilai negatif sangat tidak tepat menggambarkan aktivitas HT yang semata mencari ridho ALLAH dengan mengangkat peristiwa faktual untuk dinilai berdasarkan hukum syara’. Jadi yang dilakukan HT bukan manipulasi tapi upaya untuk membangkitkan umat dengan menyeru agar kembali pada hukum syara’ sehingga hal-hal yang bertentangan dengan hukum syara’(seperti ajaran sesat ahmadiyah) dapat ditolak umat islam atas dasar dorongan akidah bukan karena “cantiknya manipulasi” dari kelompok tertentu.
13) Halaman 50 dituliskan : “Pertumbuhan HTI tidak harus dinilai dari perspektif kekuatannya. Sama pentingnya untuk diskusi ini adalah untuk menilai pertumbuhan HTI dengan mengamati kegagalan organisasi-organisasi mainstream Muslim seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.”( Conversation with HTI members who were former members of NU and Muhammadiyah). Penilaian subjektif dari peneliti yang menafikan kontribusi HT dalam menyadarkan umat agar kembali pada hukum syara’ dan ikut memperjuangkan penerapan ideologi islam bersama kelompok yang konsisten meneladani metode dakwah Rasulullah SAW. Jadi kesimpulan keliru yang menyatakan pertumbuhan HT sebagai akibat dari kegagalan organisasi besar umat islam menjaga anggotanya dari pindah ke HT akibat kecewa dengan organisasinya. Seolah-olah HT merupakan tempat pelarian atau barisan sakit hati mantan anggota organisasi lain.
14) Halaman 52 bagian kesimpulan dituliskan : ” Sementara HTI bukanlah ancaman langsung kepada pemerintah Indonesia karena posisi politik non-kekerasan, tetapi visi menghidupkan kembali kekhalifahan Islam adalah bertentangan langsung dengan ideologi negara Indonesia, Pancasila.” Bagaimana peneliti sampai pada kesimpulan yang subjektif dan provokatif dengan mengatakan bahwa HT adalah ancaman tidak langsung terhadap Indonesia hanya karena ideologi Islam yang diemban HT bertentangan dengan pancasila sementara di halaman 43 peneliti dengan gamblang menuliskan kontribusi ideologi Islam yang diemban HT dalam menjaga persatuan Indonesia : “…Di wilayah Papua, sebuah provinsi yang sedang mencari kemerdekaanya dari Indonesia dan dengan demikian secara teknis dijalankan oleh militer Indonesia, HTI diberi keleluasaan bebas untuk berkhotbah dan menyampaikan ide-idenya. Untuk militer Indonesia, ideaologi HTI yang mencoba untuk menyatukan semua umat Islam akan berguna dalam memastikan bahwa Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia.”
15) Halaman 53 bagian saran untuk pemerintah yang ditulis atas nama kepala Pusijianstra TNI; Dr. A.Yani Antariksa SH, SE, MM [Kolonel Laut (P) NRP 7981/P]
“Mengingat gerakan HTI secara ideologi bertentangan dengan dasar Negara Republik Indonesia Pancasila sebagai ideology negara, maka kiranya pemerintah membatasi perluasan ideologi HTI. Gerakannya dengan strategi mobilisasi dan kepandainya menggunakan isu untuk melawan pemerintah seperti isu pornografi, agama, dan gerakannya di Papua patut untuk diantisipasi dan diambil suatu langkah hukum atau langkah lainnya agar organisasi ini tidak berkembang kearah perpecahan bangsa dan apabila membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa HTI patut dipertimbangkan untuk dibubarkan.”
Saran yang cukup provokatif yang berasal dari kajian kurang objektif karena kurang memaksimalkan referensi resmi HT. Jika Bapak Kolonel membaca lebih teliti terutama pada halaman 43 peneliti dengan gamblang menuliskan kontribusi ideologi Islam yang diemban HT dalam menjaga persatuan Indonesia : “…Di wilayah Papua, sebuah provinsi yang sedang mencari kemerdekaanya dari Indonesia dan dengan demikian secara teknis dijalankan oleh militer Indonesia, HTI diberi keleluasaan bebas untuk berkhotbah dan menyampaikan ide-idenya. Untuk militer Indonesia, ideaologi HTI yang mencoba untuk menyatukan semua umat Islam akan berguna dalam memastikan bahwa Papua tetap menjadi bagian dari Indonesia.” Jadi bagaimana Bapak Kolonel bisa sampai pada pernyataan : “…gerakannya di Papua patut untuk diantisipasi dan diambil suatu langkah hukum atau langkah lainnya agar organisasi ini tidak berkembang kearah perpecahan bangsa dan apabila membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa HTI patut dipertimbangkan untuk dibubarkan.” Sedangkan ideologi Islam yang diemban HT mengharamkan perpecahan di kalangan umat islam oleh karena itu HT menyerukan persatuan umat islam sedunia di bawah Khilafah. Jadi salah besar menganggap Khilafah sebagai ancaman bagi bangsa ini justru Khilafah akan menyelamatkan bangsa dan umat Islam Indonesia. Khilafah yang akan memberantas gerakan separatisme seperti OPM dan RMS hingga ke akar-akarnya yang saat ini masih gagal ditangani TNI.
4. KESIMPULAN
Setelah melaui pengkajian yang mendalam dan dibandingkan dengan sumber resmi HT maka dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1) Makalah Nomor: 07/2010 PUSJIANSTRA MABES TNI tentang “Menghidupkan Kekhalifahan Di Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Strategi Mobilisasi Dan Dampaknya Bagi Indonesia” kurang objektif karena tidak berdasarkan pengkajian mendalam terhadap sumber resmi HT tanpa konsultasi dengan pihak yang menjadi representasi HT.
2) Pengambilan kebijakan berdasarkan makalah Nomor: 07/2010 adalah tidak bijak karena berdasarkan kesimpulan yang prematur.
5. SARAN
1) Hendaknya bagi pihak yang akan melakukan pengkajian terhadap suatu organisasi harus merujuk sumber resmi yang telah distandarisasi melalui konsultasi dari pihak yang menjadi representasi organisasi tersebut agar didapatkan kesimpulan yang objektif sehingga layak disebut kajian.
2) Khusus untuk TNI alangkah baiknya mengerahkan upaya maksimal memberantas ancaman langsung terhadap persatuan Indonesia seperti gerakan separatisme; OPM dan RMS yang masih menebar terror di wilayah kedaulatan NKRI ketimbang mencurigai gerakan yang berniat mempersatukan seluruh umat islam di bawah Khilafah yang merupakan solusi permasalahan bangsa ini atas dasar dugaan semata.
3) Untuk pemerintah agar segera menerapkan Syariat Islam dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Khilafah di negeri muslim terbesar di muka bumi ini karena merupakan komando langsung dari ALLAH pemilik bumi ini.
4) Untuk kaum muslim agar tetap istiqomah dan bersungguh-sungguh berjuang mewujudkan penerapan syariah Islam secara utuh di negeri ini dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an nubuwwah.
Referensi:
Osman, Nawab. 2010. Kajian Nomor : 07/2010, Menghidupkan Kekhalifahan Di Nusantara: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Strategi Mobilisasi Dan Dampaknya Bagi Indonesia. PUSJIANSTRA MABES TNI : Jakarta.
Hizbut, Tahrir. 2010. Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir. Edisi terjemahan oleh Abu Afif dan Nur Khalish. Pustaka Thariqul Izzah : Bogor.
Khalidi, Mahmud. 2002. Bai’at Dalam Perspektif Pemikiran Politik Islam. Edisi terjemahan oleh Muhammad Bajuri. Al Izzah : Bangil.
Disampaikan oleh Naim Sulaiman dalam acara informal syabab mahaliy UGM pada tanggal 13 Februari 2012.
Sumber terjemahan kajian Nomor: 07/2010 PUSJIANSTRA MABES TNI dapat di download di http://www.mediafire.com/?k9b1lk7nr9z8e87 karena sumber asli berbahasa inggris yang semula berada di situs resmi MABES TNI http://www.mabestni.mil.id/default.aspx telah lenyap.
0 komentar:
Posting Komentar