Berpikir didefinisikan sebagai “pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut” (Taqiyuddin, 1973:25). Objek berpikir manusia meliputi tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta hubungan ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum kehidupan dunia dan yang ada sesudahnya.
Jika kita mengamati dengan seksama alam semesta yang di dalamnya terdapat kehidupan dan makhluk hidup tentu akan didapatkan beberapa fakta dan pertanyaan:
1. Alam semesta begitu kompleks dan teratur yang tersusun atas atom hingga galaksi serta makhluk hidup tentu akan menimbulkan pertanyaan di benak: Apakah alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya melalui proses evolusi? Atau Apakah ada Zat yang menciptakan alam ini?
2. Manusia dan hidup yang sangat terbatas ini baik dari kemampuan maupun umur tentu menjadi bukti akan keberadaan ”Sesuatu” Yang Maha Kuat dan tidak terbatas.
Dari fakta di atas cukup membuktikan bahwa alam semesta yang sangat kompleks ini tentu ada Zat yang menciptakannya yang biasa disebut Sang Pencipta. Bukti bahwa segala sesuatu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakanya, dapat diterangkan sebagai berikut: bahwa segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta, dan hidup. Ketiga unsur ini bersifat terbatas, lemah, serba kurang, dan saling membutuhkan kepada yang lain. Manusia terbatas sifatnya karena ia tumbuh dan berkembang sampai pada batas tertentu yang yang tidak dapat dilampauinya lagi. Ini menunjukkan bahwa manusia bersifat terbatas. Begitu juga dengan hidup bersifat terbatas karena penampakannya bersifat individual. Apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa hidup ini berakhir pada satu individu saja. Sama halnya dengan alam semesta yang memiliki sifat terbatas. Alam semesta merupakan himpunan dari benda-benda angkasa yang setiap bendanya memiliki keterbatasan. Ini terbukti dengan adanya bintang lahir dan bintang mati (supernova) serta pemampatan volum alam semesta ini.
Pertanyaan selanjutnya “Siapakah Sang Pencipta tersebut?” Ada tiga kemungkinan jawaban pertanyaan di atas. Kemungkinan pertama bahwa Pencipta itu diciptakan (dilahirkan) tidak dapat diterima akal sehat karena jika sesuatu itu diciptakan berarti dia bukan pencipta melainkan makhluk yang bersifat terbatas. Kemungkinan kedua bahwa Pencipta itu menciptakan diri-Nya menunjukkan bahwa di satu sisi dia sebagai pencipta di sisi lain dia juga sebagai makhluk. Kemungkinan kedua ini juga tidak bisa diterima akal sehat karena tidak mungkin Dia sebagai makhluk dan Pencipta pada saat bersamaan. Kemungkinan ketiga ini yang benar yaitu Pencipta harus bersifat azali ( tidak berawal dan tidak berakhir) tentu tidak memiliki keterbatasan dan bersifat wajibul wujud (wajib adanya). Dialah ALLAH Subhanallahu wa ta’ala.
Siapa saja yang mempunyai akal akan mampu membuktikan hanya dengan adanya benda-benda yang dapat diinderanya bahwa di balik benda-benda itu pasti terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Fakta menunjukkan bahwa semua benda itu bersifat serba kurang, sangat lemah, dan saling membutuhkan. Hal ini menggambarkan segala sesuatu yang ada hanyalah makhluk. Jadi untuk membuktikan adanya Pencipta Yang Maha Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengarahkan perhatian manusia terhadap benda-benda yang ada di alam semesta, fenomena hidup, dan diri manusia sendiri. Melalui pengamatan terhadap salah satu planet yang ada di alam semesta, atau dengan merenungi fenomena hidup, atau meneliti salah satu bagian dari diri manusia akan didapat bukti nyata dan meyakinkan akan adanya ALLAH Subhanallahu wa ta’ala.
Maha Benar ALLAH dengan salah satu firmannya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan” (TQS. Al Baqarah [2]: 164).
Dengan demikian setiap muslim wajib menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, selalu meneliti dan memperhatikan serta senantiasa merujuk kepada akalnya secara mutlak dalam beriman kepada ALLAH. Ajakan untuk memperhatikan alam semesta dengan seksama, dalam rangka memperoleh petunjuk untuk beriman terhadap Penciptanya, telah disebut ratusan kali oleh Al-Quran dalam berbagai surat yang berbeda. Semuanya ditujukan kepada potensi akal manusia untuk diajak berfikir dan merenung, sehingga imannya betul-betul muncul dari akal dan bukti yang nyata. Disamping untuk memperingatkannya agar tidak mengambil jalan yang telah ditempuh oleh nenek moyangnya, tanpa meneliti dan menguji kembali sejauh mana kebenarannya. Inilah iman yang diserukan oleh Islam. Iman semacam ini bukanlah seperti yang dikatakan orang sebagai imannya orang-orang lemah, melainkan iman yang berlandaskan pemikiran yang cemerlang dan meyakinkan, yang senantiasa mengamati (alam sekitarnya), berpikir dan berpikir, kemudian lewat pengamatan dan perenungannya akan sampai kepada keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Kuasa.
Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada ALLAH, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang ada di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Kekuatannya terbatas sekalipun meningkat dan bertambah, hingga batas yang tidak dapat dilampauinya lagi; terbatas pula jangkauannya. Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami Zat ALLAH dan hakekat-Nya. Sebab, ALLAH berada di luar ketiga unsur pokok alami (alam semesta, manusia, dan hidup) di atas. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya. Walhasil, ia tidak akan mampu memahami Zat ALLAH. Perlu digarisbawahi bukan berarti lalu mengatakan "Bagaimana mungkin orang (dapat) beriman kepada ALLAH, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Zat ALLAH ?" Tentu, kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu adalah percaya terhadap wujud (keberadaan) ALLAH. Sementara wujud-Nya dapat diketahui melalui makhluk-makhluk-Nya, yang meliputi alam semesta, manusia, dan hidup. Tiga unsur ini berada dalam batas jangkauan akal manusia. Dengan memahami ketiga perkara itu, orang dapat memahami adanya Pencipta, yaitu ALLAH. Oleh karena itu, iman terhadap adanya ALLAH dapat dicapai melalui akal dan berada dalam jangkauan akal. (Taqiyuddin, 2009:15-16)
Referensi :
Nabhani, Taqiyuddin. 1973. Hakikat Berpikir (Edisi Terjemahan oleh Taqiyuddin as-Siba’i). Bogor : Pustaka Thariqul Izzah.
_________________. 2009. Peraturan Hidup dalam Islam (Edisi Terjemahan oleh Abu Amin dkk). Jakarta : Tim HTI-Press.
*Tulisan ini merupakan tugas akhir semester mata kuliah filsafat pendidikan sains di prodi magister pendidikan fisika Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta tertanggal 4 Februari 2012.
*Tulisan ini merupakan tugas akhir semester mata kuliah filsafat pendidikan sains di prodi magister pendidikan fisika Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta tertanggal 4 Februari 2012.
0 komentar:
Posting Komentar